Era Kolonial Belanda (1930-an - 1945-an)
Pada awal abad ke-20, wilayah Sorong mulai menarik perhatian pemerintah kolonial Belanda karena potensi sumber daya alamnya, terutama minyak bumi. Perusahaan minyak Belanda seperti Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) melakukan eksplorasi di wilayah Papua, termasuk Sorong. Untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, infrastruktur transportasi menjadi kebutuhan mendesak.
Pada tahun 1935, dibangunlah sebuah landasan udara sederhana di Pulau Jefman, yang terletak di dekat pantai Sorong. Bandara ini kemudian dikenal sebagai Bandara Jefman. Lokasi di pulau tersebut dipilih karena kondisi geografis yang mendukung dan relatif mudah dijangkau dari daratan utama Sorong melalui jalur laut.
Bandara Jefman awalnya digunakan untuk keperluan internal perusahaan minyak dan administrasi kolonial. Pesawat-pesawat kecil mengangkut kargo dan personel antara Sorong dan pusat-pusat administrasi kolonial lainnya di Hindia Belanda. Fasilitas bandara pada masa itu masih sangat terbatas, dengan landasan pacu yang sederhana dan minim peralatan navigasi.
Seiring waktu, Bandara Jefman menjadi semakin penting bagi Belanda, terutama dengan meningkatnya aktivitas industri perminyakan. Bandara ini juga mulai melayani penerbangan militer, terutama menjelang dan selama Perang Dunia II. Posisi strategis Sorong di ujung barat Pulau Papua menjadikannya lokasi penting bagi kepentingan militer dan ekonomi.
Pada tahun 1942, Jepang menginvasi dan menduduki wilayah Sorong, termasuk Bandara Jefman. Jepang menyadari pentingnya bandara ini sebagai pangkalan udara untuk operasi militer mereka di kawasan Pasifik. Mereka memperbaiki dan memperluas fasilitas bandara untuk mendukung kegiatan militer, termasuk penempatan pesawat tempur dan angkut.
Selama pendudukan Jepang, Bandara Jefman menjadi sasaran serangan udara Sekutu. Pihak Sekutu berupaya melemahkan kekuatan militer Jepang di wilayah tersebut dengan menyerang instalasi-instalasi penting, termasuk bandara. Serangan-serangan ini menyebabkan kerusakan pada fasilitas bandara dan mengganggu operasi penerbangan.
Pada masa pasca-perang, Bandara Jefman kembali melayani penerbangan sipil dan militer. Namun, situasi politik di Indonesia mulai berubah dengan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Wilayah Papua, termasuk Sorong, masih berada di bawah administrasi Belanda, yang menimbulkan ketegangan dengan pemerintah Republik Indonesia.
Belanda berusaha mempertahankan kontrol atas Papua dengan membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini) pada tahun 1961, sebagai langkah menuju kemerdekaan Papua Barat yang terpisah dari Indonesia. Namun, upaya ini ditentang oleh pemerintah Indonesia yang menganggap Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya.
Tahun 1936-an
Sorong di masa itu

Tahun 1940-an
Sorong di masa itu

Tahun 1945-an
Sorong di masa itu

Tahun 1960-an
Sorong di masa itu

Pasca Kemerdekaan 1945-an - 2000-an
Setelah melalui perundingan internasional dan tekanan diplomatik, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia. Pada tahun 1962, ditandatangani Perjanjian New York, yang menetapkan bahwa administrasi Papua akan dialihkan kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebelum diserahkan kepada Indonesia.
Pada tahun 1963, Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia, dan Bandara Jefman berada di bawah pengelolaan pemerintah Indonesia. Pemerintah mulai melakukan upaya untuk mengintegrasikan Papua ke dalam struktur nasional, termasuk peningkatan infrastruktur dan pelayanan publik.
Bandara Jefman terus beroperasi sebagai bandara utama yang melayani Kota Sorong dan sekitarnya. Namun, keterbatasan fasilitas dan lokasinya di pulau terpisah menjadi tantangan bagi pengembangan wilayah. Penumpang dan kargo harus menyeberang dengan kapal dari daratan utama Sorong ke Pulau Jefman, yang memakan waktu dan biaya tambahan.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Sorong mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, terutama di sektor perikanan, kehutanan, dan pertambangan. Kebutuhan akan transportasi udara yang lebih efisien menjadi semakin mendesak. Bandara Jefman mulai kewalahan menangani peningkatan volume penumpang dan kargo.
Menyadari keterbatasan ini, pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan bandara baru di daratan utama Sorong. Tujuannya adalah untuk meningkatkan aksesibilitas, kapasitas, dan efisiensi transportasi udara di wilayah tersebut. Proses perencanaan melibatkan studi kelayakan dan konsultasi dengan pemerintah daerah serta masyarakat setempat.
Pada awal tahun 2000-an, pembangunan Bandara Domine Eduard Osok (DEO) dimulai di daratan utama Sorong. Nama bandara ini diambil dari nama Domine Eduard Osok, seorang pendeta dan tokoh masyarakat yang dihormati di Papua Barat Daya. Beliau dikenal atas kontribusinya dalam pengembangan pendidikan dan keagamaan di wilayah Sorong.
Domine Eduard Osok lahir pada awal abad ke-20 dan mendedikasikan hidupnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui pendidikan dan penyebaran ajaran Kristen. Beliau mendirikan sekolah-sekolah dan gereja-gereja, serta aktif dalam kegiatan sosial yang memberdayakan masyarakat lokal. Penamaan bandara dengan namanya merupakan penghormatan atas jasa-jasanya.
Pembangunan Bandara DEO melibatkan kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Tantangan seperti pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur pendukung, dan penyediaan fasilitas navigasi diatasi melalui koordinasi yang baik. Masyarakat adat dan pemilik lahan memberikan dukungan penuh terhadap proyek ini.
Pada tahun 2004, Bandara Domine Eduard Osok resmi dibuka dan mulai beroperasi menggantikan Bandara Jefman. Dengan fasilitas yang lebih modern dan akses langsung dari daratan utama, bandara ini memberikan kemudahan bagi penumpang dan operator penerbangan. Bandara Jefman pun ditutup dan fungsi operasionalnya dialihkan sepenuhnya ke Bandara DEO.
"Upgrade" dan Modernisasi (2000-an - sekarang)
Saat ini, Bandara Domine Eduard Osok telah berkembang menjadi salah satu bandara tersibuk di Indonesia Timur. Bandara ini melayani penerbangan domestik dan internasional, menghubungkan Sorong dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Makassar, Manado, dan Jayapura. Beberapa maskapai penerbangan nasional dan regional beroperasi di bandara ini.
Fasilitas bandara telah ditingkatkan secara signifikan. Terminal penumpang modern dilengkapi dengan fasilitas seperti ruang tunggu yang nyaman, area komersial, restoran, dan sistem check-in otomatis. Fasilitas keamanan dan navigasi juga ditingkatkan untuk memastikan keselamatan dan efisiensi operasional.
Landasan pacu bandara diperpanjang dan diperkuat untuk memungkinkan pendaratan pesawat berbadan lebar seperti Boeing 737 dan Airbus A320. Hal ini membuka peluang bagi peningkatan kapasitas penumpang dan kargo, serta memungkinkan penerbangan jarak jauh tanpa transit.
Bandara DEO berperan penting dalam mendukung sektor pariwisata di Papua Barat Daya. Sebagai pintu gerbang menuju Kepulauan Raja Ampat, bandara ini menjadi akses utama bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Peningkatan jumlah wisatawan berdampak positif pada perekonomian lokal melalui peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja di sektor pariwisata.
Selain pariwisata, bandara ini juga mendukung sektor perdagangan dan industri. Kemudahan transportasi udara memungkinkan distribusi barang dan jasa dengan cepat ke seluruh Indonesia. Hal ini penting bagi komoditas seperti hasil perikanan, pertanian, dan produk industri lainnya yang dihasilkan di Papua Barat Daya.
Bandara DEO juga memainkan peran dalam pengembangan sosial di wilayah tersebut. Mobilitas yang lebih tinggi memungkinkan akses yang lebih baik ke pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Program pelatihan dan pemberdayaan juga dilakukan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia lokal.
Pemerintah dan pengelola bandara terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dan fasilitas. Rencana pengembangan jangka panjang mencakup perluasan terminal, peningkatan fasilitas kargo, dan pengembangan area komersial. Hal ini bertujuan untuk menjadikan Bandara DEO sebagai hub transportasi dan pusat ekonomi regional.
Kerja sama dengan maskapai penerbangan diperluas untuk menambah rute dan frekuensi penerbangan. Upaya juga dilakukan untuk membuka penerbangan internasional langsung ke negara-negara tetangga, yang akan meningkatkan konektivitas dan peluang ekonomi.
Bandara Domine Eduard Osok menjadi simbol kemajuan dan harapan bagi masyarakat Papua Barat Daya. Nama bandara ini terus mengingatkan kita pada jasa Domine Eduard Osok dan pentingnya peran tokoh lokal dalam pembangunan daerah. Semangat pengabdian dan dedikasi beliau menjadi inspirasi bagi generasi muda.
Dengan perkembangan yang terus berlanjut, Kami akan terus berupaya untuk dapat senantiasa selalu berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan di Papua Barat Daya. Bandara ini tidak hanya sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai penghubung budaya, ekonomi, dan sosial yang memperkuat kesatuan dan kemajuan Indonesia.